Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia
1. PENGERTIAN KONSTITUSI
Konstitusi berasal dari bahasa Prancis “Constituere” yang artinya membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksud sebagai pembentukan atau penyusunan suatu negara.
Konstitusi bagi suatu negara merupakan keseluruhan sistem aturan yang menetapkan dan mengatur tata kehidupan kenegaraan melalui sistem pemerintahan negara dan tata hubungan secara timbal balik antara pemerintah negara dan orang seorang yang berada di bawah pemerintahnya.
Konstitusi diartikan juga sebagai hukum dasar, hukum dasar tersebut dapat tertulis dan dapat juga tidak tertulis. Konstitusi atau hukum dasar yang tertulis disebut juga Undang-Undang Dasar, sedangkan konstitusi atau hukum dasar yang tidak tertulis disebut juga konvensi, yakni aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek-praktek penyelengaraan negara meskipun tidak tertulis. Dengan demikian, konstitusi lebih luas dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar (UUD), atau UUD merupakan salah satu bagian dari konstitusi.
Menurut James Bryce, suatu konstitusi menetapkan:
a) pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanan
b) fungsi dari lembaga-lembaga tersebut
c) hak-hak tertentu yang ditetapkan.
Sedangkan menurut JF. Strong, konstitusi mengatur:
a) kekuasaan pemerintah
b) hak-hak dari yang diperintah
c) hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah.
2. FUNGSI KONSTITUSI
Fungsi konstitusi, dapat ditinjau dari sudut penyelenggaraan pemerintahan atau berdasarkan tujuannya. Ditinjau dari sudut pemerintahan fungsi konstitusi sebagai landasan struktural penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang pokok-pokoknya dalam suatu aturan-aturan konstitusi atau UUD-nya.
Sedangkan ditinjau dari sudut tujuannya, fungsi kontitusi adalah untuk menjamin hak-hak anggota warga negara atau masyarakat dari tindakan sewenang-wenang penguasa.
3. ISI ATAU MUATAN KONSTITUSI
Menurut A.A.H. Struycken, UUD sebagai suatu konstitusi yang tertulis merupakan dokumen formal yang memuat:
a) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau
b) Tingkatan-tingkatan perkembangan tertinggi ketatanegaraan bangsa
c) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun yang akan datang.
d) Sutau keinginan dengan mana perkembangan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Menurut Sri Sumantri (1979:45) konstitusi pada umumnya memuat:
a) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara
b) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental;
c) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Menurut Miriam Budiardjo (1977:101), setiap UUD/Konstitusi memuat ketentuan tentang:
a) organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan judikatif, dan sebagainya
b) hak-hak asasi manusia
c) prosedur mengubah UUD
d) Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.
4. KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
Semenjak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang, di Indonesia telah berlaku tiga macam UUD dalam empat periode:
1) Periode 18 Agutus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 berlaku UUD Proklamasi yang kemudian dikenal dengan UUD 1945
2) Periode 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950 berlaku Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS)
3) Periode 17 Agutus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 berlaku Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950)
4) Periode 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang berlaku UUD 1945
4.1 Periode 18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai salah satu bagian dari hukum dasar memuat aturan-aturan pokok ketatanegaraan yang dijadikan dasar bagi aturan-aturan ketatanegaraan lainnya. Beberapa aturan pokok itu mengatur bentuk negara, bentuk pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan sistem pemerintahan.
Ada dua macam bentuk negara, yakni kesatuan dan serikat (federasi). Menurut Undang-Undang Dasar 1945 bentuk negara Indonesia ialah kesatuan. Ketentuan ini dapat kita temukan dalam Pasal 1 Ayat 1 yang menyatakan bahwa, “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik”.
Sebagai sebuah negara kesatuan, kedaulatan negara Indonesia tidak dibagi -bagi sehingga tidak ada negara dalam negara. Kekuasaan negara dikendalikan oleh pemerintah pusat. Meskipun demikian, pemerintah pusat memiliki wewenang untuk menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah daerah. Sistem inilah yang lazim disebut desentralisasi.
Sebagai negara kesatuan, Indonesia mengembangkan sistem desentralisasi. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 18 yang menyatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Adapun sifat dan kedudukan daerah-daerah di wilayah negara Indonesia dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 18. Dalam bagian ini ditegaskan bahwa oleh karena negara Indonesia merupakan negara kesatuan, Indonesia tidak akan mempunyai daerah, di dalam lingkungannya yang bersifat stoat (negara). Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih keeil. Pembagian atas daerah-daerah otonom atau administratif belaka dilakukan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan permusyawaratan rakyat. karena di daerah pun pemerintahan akan bersendikan permusyawaratan.
Berkenaan dengan bentuk pemerintahan, Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa pemerintahan negara Indonesia berbentuk republik. Hal ini dapat diamati dari bunyi ketentuan Pasal 1 Ayat 1. Salah satu bukti bahwa negara Indonesia memiliki pemerintahan yang berbentuk republik. dapat dilihat dari cara pengisian jabatan kepala negaranya yang dilakukan melalui pemilihan dan pengangkatannya oIeh MPR. Cara seperti irii berbeda dengan cara-cara yang dipraktikkan dalaIn negara-negara kerajaan (monarki) yang umumnya menggunakan pewarisan atau keturunan.
Adapun menyangkut pembagian kekuasaan Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan beberapa. hal sebagai berikut:
(1) Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh presiden dibantu oleh seorang wakil presiden dan para menteri. Dalam menjalankan higasnya. Presiden diawasi Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun demikian Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kerja sama antara Presiden dan DPR tampak dalam hal pembuatan undang-undang.
(3) Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Kedudukan badan ini merdeka dari campur tangan kekuasaan pemerintah. namun tidak berdiri di atas pemerintah. Selain menjalankan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung berwenang untuk memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku kepala negara dalam hal pemberian dan penolakan grasi.
Sistem pemerintahan yang dianut Undang-Undang Dasar 1945 ialah kabinet presidensial. Menurut sistem ini, presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya. presiden dibantu oleh para menteri negara yang diangkat diberhentikan. dan bertanggung jawab kepada presiden.
Namun, dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Ketentuan-ketentuan di atas belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Masa-masa setelah Proklamasi Kemerdekaan dapat diangaap sebagai masa peralihan dengan corak pemerintahan tersendiri. Pada ketentuan-ketentuan di atas belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pada masa ini kekuasaan presiden sangat luas. Menurut Pasal IV Aturan Peralihan, selain menjalankan kekuasaan eksekutif, presiden menjalankan kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Di samping presiden, hanya ada wakil presiden dan Komite Nasional Indonesia Pusat yang berkedudukan sebagai pembantu presiden. Presiden dapat menjalankan kekuasaan dengan seluas-luasnya tanpa dimbangi dan diawasi oleh lembaga negara lainnya.
Dilatarbelakangi oleh keadaan seperti yang digambarkan di atas, keluarlah Maklumat Wakil Presiden No. X Tanggal 16 Oktober 1945. Maklumat ini mengandung keputusan bahwa sebelum MPR dan DPR terbentuk, Komite Nasional Indonesia Pusat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Jika mengingat gentingnya keadaan, pekerjaan sehari-hari Komite Nasional Indonesia Pusat dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang dipilih di antara mereka dan bertanggung jawaab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tanggal 11 November 1945. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) mengusulkan mengenai perlunya pertanggungjawaban menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat. Usul ini kemudian dijelaskan dalam pengumuman Badan Pekerja Nomor 5 Tahun 1945. Di dalam pengumuman ini dijelaskan dua pertimbangan perlunya pertanggungjawaban menteri kepada Badan Perwakilan Rakyat, yaitu sebagai berikut:
(1) Bahwa di dalam Undang-Undang Dasar tidak terdapat pasal, baik yang mewajibkan maupun yang melarang para menteri bertanggung jawab.
(2) Pada pihak lain pertanggungjawaban kepada Badan Perwakilan Rakyat ialah suatu jalan untuk memberlakukan kedaulatan rakyat.
Persetujuan Presiden terhadap usul Badan Pekerja diberikan dan diumumkan dengan Maklumat Pemerintah 14 November 1945. Sejak hari itu, para menteri menjadi anggota kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri yang bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Rakyat. Sebagai akibatnya, kabinet presidensial di bawah pimpinan Presiden Soekarno segera meletakkan jabatan dan digantikan kabinet parlementer yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Kenyataan di atas merupakan penyimpangan dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 17, Ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara dan (2) menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
4.2 Periode 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) mulai berlaku pada tangal 27 Desember 1949 bersamaan dengan penandatanganan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Konstitusi RIS dihasilkan dari sebuah pertemuan yang dinamakan “pertemuan untuk permusyawaratan federal” pada tanggal 14 Desember 1949 bertempat di Den Haag.
Konstitusi RIS terdiri atas 197 pasal. Konstitusi ini bersifat sementara karena menurut ketentuan Pasal 186 Konstituante (sidang pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan Pemerintah akan selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi RIS yang akan menggantikan Konstitusi yang sementara ini.
Bentuk negara yang dikehendaki Konstitusi RIS ialah serikat atau federal, dengan bentuk pemerintahan republik. Ketentuan ini dapat dikaji dalam Pasal 1 Ayat 1 yang menyatakan, ”Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi”.
Sesuai dengan bentuk serikat, wilayah RIS dibagi ke dalam tujuh negara bagian dan sembilan satuan kenegaraan. Ketujuh negara bagian tersebut adalah:
1. Negara Republik Indonesia.
2. Negara Indonesia Timur,
3. Negara Pasundan. termasuk Distrik Federal Jakarta.
4. Negara Jawa Timur,
5. Negara Madura.
6. Negara Sumatra Timur. dan
7. Negara Sumatra Selatan.
Adapun yang termasuk satuan kenegaraan ialah sebagai berikut:
1) Jawa Tengah
2) Bangka,
3) Belitung.
4) Riau.
5) Kalimantan Barat (Daerah Istimewa),
6) Dayak Besar.
7) Daerah Banjar,
8) Kalimantan Tengah, dan
9) Kalimantan Timur.
Negara dan daerah bagian ini memiliki kemerdekaan untuk menentukan nasib sendiri yang bersatu dalam ikatan federasi RIS. Selain negara bagian dan satuan kenegaraan tadi, RIS mencakup pula daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian.
Menurut ketentuan dalam Bab III, alat-alat perlengkapan federal RIS adalah:
(1) Presiden,
(2) Menteri-menteri.
(3) Senat.
(4) Dewan Perwakilan Rakyat,
(5) Mahkamah Agung dan
(6) Dewan Pengawas Keuangan
Dari ketentuan pasal-pasalnya dapat disimpulkan bahwa Konstitusi RIS menganut sistem pemerintahan parlernenter. Dalam sistem pemerintahan rnenurut konstitusi ini, presiden dan menteri-menteri merupakan Pemerintah. Lembaga perwakilannya menganut sistem dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Senat merupakan perwakilan negara atau daerah bagian yang setiap negara atau daerah bagian diwakili dua orang. DPR yang beranggotakan 150 orang merupakan wakil seluruh rakyat.
Pemerintah melakukan kekuasaan legislatif bersama-sarna dengan DPR dan Senat. Hal ini dilakukan sepanjang materi undang-undang itu menyangkut satu atau sernua negara atau daerah bagian; atau mengenai hubungan RIS dengan negara atau daerah bagian. Adapun pembuatan undang-undang yang menyangkut seluruh kekuasaan di luar masalah tadi dilakukan oleh presiden bersama-sama DPR.
Selain memiliki kekuasaan legislatif yang sangat terbatas, Senat juga memiliki fungsi sebagai penasihat pemerintah. Bahkan, nasihat Senat wajib didengar pemerintah apabila menyangkut:
1) urusan-urusan penting negara-negara atau daerah-daerah bagian,
2) hubungan RIS dengan negara atau daerah bagian, dan
3) penyusunan Rancangan Undang-Undang Darurat.
4.3 Periode 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959
Hasrat untuk membentuk negara kesatuan tidak dapat dilenyapkan dengan berdirinya beberapa negara atau daerah bagian. Hasrat ini semakin kuat setelah di yakini bahwa pembentukan negara-negara bagian itu dilakukan Belanda untuk memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Pergerakan rakyat yang menuntut pembubaran negara atau daerah bagian dan penggabungan dengan Republik Indonesia di Yogyakarta muncul di mana-mana. Penggabungan negara atau daerah bagian yang satu dengan yang lainnya dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 43 dan 44 Konstitusi RIS. Penggabungan dapat dilakukan dengan ketentuan dikehendak rakyat dan diatur oleh undang-undang federal.
Untuk mewujudkan kehendak rakyat, Pemerintah RIS dengan persetujuan DPR dan Senat RIS mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS pada tanggal 8 Maret 1950. Segera setelah dikeluarkannya Undang-Undang tadi, beberapa negara bagian menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. RIS hanya terdiri dari tiga negara bagian, yakni Republik Indonesia, Negara Sumatra Timur, dan Negara Indonesia Timur pada tanggal 5 April 1950.
Pada tanggal 19 Mei 1950 melalui sebuah perundingan teh dihasilkan sebuah “Piagam Persetujuan” antara Pemerintah RI dan Pemerintah RIS yang mendapat kuasa dari dua negara bagianya masih ada. Kedua pemerintah sepakat untuk membentuk negara kesatuan sebagai penjelmaan semangat Proklamasi Kemerdekan 17 Agustus 1945. Negara kesatuan yang akan dibentuk diatur dengan Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar tersebut diperoleh dengan mengubah Konstitusi RIS sehingga prinsip-prinsip pokok Undang-Undang Dasar 1945 ditambah dengan “bagian-bagian yang baik” dari Konstitusi RIS, termasuk di dalamnya.
Sejak tanggal 17 Agustus 1950, berlakulah Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Hal ini bersamaan dengan terwujudnya kembali negara kesatuan, sebagaimana dicita-citakan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pemberlakuan Undang-Undang Dasar ini ditetapkan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Undang-Undang Dasar Sementara terdiri atas 6 bab dan 1946 pasal. Oleh karena bersifat sementara, berdasarkan Pasal 134 ditentukan bahwa Konstituante (sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan pemerintah akan secepatnya menetap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini.
Adapun bentuk negara dan pemerintahan yang dikehendaki Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ialah kesatuan pemerintahan republik. Hal ini dapat dikaji dari ketentuan Pasal 1 Ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis berbentuk kesatuan”.
Berbeda dengan Konstitusi RIS, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tidak mengenal Senat. Alat-alat perlengkapan negara selengkapnya dapat dikaji pada Pasal 44 yang meliputi unsur-unsur.
1) Presiden dan Wakil Presiden,
2) Menteri-menteri,
3) Dewan Perwakilan Rakyat,
4) Mahkamah Agung, dan
5) Dewan Pengawas Keuangan.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1950. Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kedaulatan rakyat. Sistem pemerintahan menurut UUDS 1950 diatur dalam Pasal 83 dan 84 sebagai berikut.
Pasal 83
(1) Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
(2) Menteri-menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk kegiatannya sendiri-sendiri.
Pasal 84
Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan Presiden yang menyatakan pembubaran itu memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan Perwakiran Rakyat baru dalam 30 hari.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal di atas, nyatalah bahwa UUDS 1950 menganut sislem parlementer. Berdasarkan sistem ini, DPR dapat membubarkan kabinet. Sebagai imbangannya, presiden memiliki kedudukan yang kuat dan dapat membubarkan DPR. Mekanisme seperti ini merupakan hal biasa bagi negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer.
4.4 Periode 5 Juli 1959 s/d 1998
Mengapa dikeluarkan Dekrit Presiden? Pemilu tahun 1955, antara lain, menghasilkan terbentuknya Konstituante yang bertugas membuat undang-undang dasar baru sebagai pengganti UUDS 1950. Dalam pelaksanaan tugasnya, para anggota Konstituante telah berhasil menyepakati berbagai rancangan materi Undang-Undang Dasar tersebut. Akan tetapi, ketika membahas dasar negara, para anggota Konstituante tidak berhasil mencapai kesepakatan walaupun telah diupayakan bermusyawarah dalam waktu lama, bahkan dilakukan pemungutan suara. Hasil pemungutan suara menunjukkan tidak ada pihak yang mencapai 2/3 jumlah suara walaupun pemungutan telah suara diulang.
Di tengah situasi demikian, muncul desakan dari Presiden Soekarno dan militer agar Indonesia kembali ke UUD 1945. Akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959, selanjutnya disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang isinya:
1. menetapkan pembubaran Konstituante;
2. menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan tidak berlakunya UUDS;
3. membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara
Dalam konsideransi dekrit disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.
Sejak 5 Juli 1959 hingga sekarang Undang-Undang Dasar 1945 terus berlaku. Pada kurun waktu 1959-1998 tidak di-perkenankan diubah sedikit pun, namun setelah masa reformasi (tahun 1998) telah diadakan perubahan dalam beberapa isi pasal UUD 1945. Perubahan pada masa reformasi ini dikenal dengan nama Amandemen UUD 1945.
4.5 Periode reformasi s/d sekarang
Perubahan UUD 1945 baru terjadi pada era reformasi. Era reformasi muncul setelah terjadinya krisis ekonomi dan moneter di Indonesia pada 1997-1998. Di tengah situasi dan kondisi itu, muncul gelombang unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Tuntutan mahasiswa dan masyarakat, yang semula di bidang ekonomi akhirnya berkembang ke bidang politik, yakni tuntutan pemberhentian Presiden Soeharto. Desakan para mahasiswa serta masyarakat yang menghendaki adanya reformasi, akhirnya menyebabkan Presiden Soeharto berhenti dari jabatannya, yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie pada 21 Mei 1998, pada Sidang Umum MPR 1998 disahkan Perubahan Pertama UUD 1945, kemudian Perubahan Kedua pada Sidang Tahunan PR 2000. Perubahan Ketiga UUD 1945 terjadi pada Sidang tahunan MPR 2001 dan Perubahan Keempat UUD 1945 Sidang tahunan MPR tahun 2002.
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat tahap itu untuk menyesuaikan UUD 1945 dengan tuntutan perkembangan jaman dan kebutuhan bangsa agar tujuan berdirinya negara kita dapat lebih mudah dan cepat diwujudkan.
5. PENYIMPANGAN KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
5.1 Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu, yaitu yang pertama sejak ditetapkannya oleh Panitia, Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, yang berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tanggal 10 Oktober 1945 diberlakukan surut mulai tanggal 17 Agustus 1945, sampai dengan mulai berlakunya Konstitusi ,RIS pada saat pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Yang kedua adalah dalam kurun waktu sejak diumumkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 hingga sekarang, dan ini terbagi pula atas masa Orde Lama dan Orde Baru.
Dalam kedua kurun waktu berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 itu kita telah mencatat pengalaman tentang gerak pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 itu.
Dalam kurun waktu 1945 – 1949, jelas Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik; karena. kita memang sedang dalam masa pancaroba, dalam usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja kita proklamasikan, sedangkan pihak kolonial Belanda justru ingin menjajah kembali, bekas jajahannya yang telah merdeka. Segala perhatian bangsa dan negara diarahkan untuk memenangkan Perang Kemerdekaan.
Sistem pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 jelas belum dapat dilaksanakan. Dalam kurun waktu ini sempat diangkat Anggota DPA sementara, sedangkan MPR dan DPR belum dapat dibentuk. Waktu itu masih terus diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan pasal IV yang menyatakan bahwa: “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaarinya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Kornite Nasional” .
Ada dua penyimpangan konstitusional yang dapat dicatat dalam kurun waktu 1945 – 1949 itu, yakni:
a) berubahnya fungsi Kornite Nasional Pusat dari pembantu Presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober, 1945.
b) perubahan sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Berdasarkan usul Badan Pekerja Kornite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada tanggal 11 Nopember 1945, yang kemudian disetujui oleh Presiden dan diumumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, sistem Kabinet Presidensial berdasarkan UUD 1945 diganti dengan sistem Kabinet Parlementer.
Sementara itu, pada tanggal 3 Nopember 1945 atas usul BP-KNIP, Pemerintah ‘mengeluarkan suatu Maklurnat, yang ditandatangani oleh Wakil Presiden, tentang pembentukan partai-partai politik. Tujuan Pemerintah ialah agar dengan adanya partai-partai itu dapat dipimpin segala aliran paham yang ada di rnasyarakat ke jalan yang teratur.
Sejak tanggal 14 Nopember 1945 kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dipegang oleh Perdana Menteri sebagai pimpinan Kabinet dengan para Menteri sebagai anggota Kabinet. Secara bersama-sama. atau sendiri-sendiri Perdana Menteri dan/atau para Menteri bertanggungjawab kepada KNIP, yang berfungsi sebagai DPR, tidak bertanggungjawab kepada Presiden seperti yang dikehendaki Undang-Undang Dasar 1945. Dengan penyimpangan sistem ini jelas pengaruh negatifnya terhadap stabilitas politik dan stabilitas pemerintahan.
Perlu diketahui, bahwa dalam masa revolusi fisik tahun 1945 – 1949 itu sistem pemerintahan kita sering berubah dari sistem presidensial menjadi sistem parlementer dan sebaliknya. Namun perlu diingat, bahwa setiap kali negara dalam keadaan genting kita senantiasa kembali kepada sistem presidensial.
Berkat kebulatan tekad seluruh rakyat waktu itu untuk terus berjuang menegakkan kemerdekaan, maka dengan naungan Undang-Undang Dasar 1945 — meskipun telah terjadi penyimpangan — akhirnya bangsa Indonesia dapat megenangkan Perang Kemerdekaan.
Akhimya Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia, namun kita, pihak “Republik Proklamasi” terpaksa menerima berdirinya Negara Indonesia yang lain dari yang kita proklamasikan '‘pada tanggal 17 Agustus 1945 dan didirikan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang kita tetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.Negara Kesatuan Republik Indonesia terpaksa menjadi negara Federasi Republik Indonesia’' Serikat .(RIS), berdasarkan pada Konstitusi RIS dengan IT. Soekarno sebagai Presidennya. Undang-Undang Dasar 1945 berlaku hanya di Negara Bagian RI yang meliputi sebagian pulau Jawa dan Sumatera dengan ibukota Yogyakarta.
5.2 Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) merupakan Konstitusi yang kedua dari Negara kita dan berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, jadi lebih kurang hanya delapan bulan. Rancangan Konstitusi itu disepakati bersama di negara Belanda antara wakil-wakil pemerintah Republik Indonesia dengan wakil-wakil pemerintah “negara” BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), negara-negara buatan Belanda di luar RI. Ini terjadi di kota pantai Scheveningen tanggal 29 Oktober 1949, pada saat berlangsungnya Konperensi Meja Bundar.
Pada tanggal’ 14 Desember 1949 di Jakarta disetujui rancangan tersebut oleh wakil-wakil pemerintah dan KNIP Republik Indonesia dan wakil masing-masing pemerintah dan Dewan-dewan Perwakilan Rakyat negara-negara BFO.
Akhirnya dalam sidang lanjutan pada konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag negeri Belanda, Rancangan Konstitusi RIS tersebut disetujui oleh semua pihak.
Penyimpangan konstitusi pada masa ini antara lain dengan berubahannya bentuk negara kesatuan menjadi negara federasi (negara serikat), yakni negara yang memiliki negara-negara bagian. Untunglah negara federasi RIS hanya berlangsung sangat singkat. Sejak berdirinya Republik Indonesia Serikat terasa desakan-desakan untuk menjadikan RIS kembali menjadi Negara Kesatuan. Desakan itu terutama datang dari, daerah-daerah yang merasa tidak puas dengan terbentuknya negara federal hasil KMB secta ingin bergabung dengan Republik Indonesia (Yogyakarta). Pembubaran dan penggabungan negara-negara bagian itu memang dimungkinkan oleh Konstitusi RIS Pasal 43 dan 44.
Sejarah menunjukkan bahwa pada bulan April 1950 tinggal negara bagian Indonesia Timur dan Sumatera Timur sajalah yang belum bergabung dengan ‘negara. RI Yogyakarta. Akhimya tercapailah kata sepakat antara negara RI Yogyakarta dan negara RIS, yang sekaligus mewakili negara Bagian Indonesia Timur dan Sumatera Timur untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama mendirikan satu negara kesatuan.
Persetujuan tersebut secara resmi dimuat dalam suatu Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Proses selanjutnya adalah membuat rancangan perubahan konstitusi RIS menjadi UUDS. Republik Indonesia oleh pihak RIS dan Negara Republik Indonesia (Yogyakarta). Pada tanggal 15 Agustus 1950 di depan rapat. gabungan senat dan DPR-RIS, Presiden menyatakan bahwa rancangan perubahan tersebut telah disetujui oleh pihak RIS dan negara RI Yogyakarta dan karena, itu naskah UUD (Sementara) itu telah ditandatangani olehnya bersama Perdana Menteri dan Menteri Kehakiman RIS serta kemudian diumumkan oleh M’enteri Kehakiman dan berlaku mulai tailggal 17 Agustus 1950.
5.3 Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 17 Agutus 1950 s/d 5 Juli 1959
Pada tanggal 17 Agustus 1950, negara federasi RIS kembali menjadi Negara Kesatuan RI, tetapi dengan landasan Undang-Undang Dasar yang lain dari Undang-Undang Dasar 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menetapkan Undang-Undang Dasar Sementara yang diberi nama Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950). Ini merupakan Konstitusi kita yang ketiga.
Penyimpang konstitusi pada masa ini adalah:
1) perubahan sistem kabinet presidential menjadi sistem kabinet parlementer. Menurut Undang-Undang Dasar baru ini sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer bukan sistem kabinet presidensial. Menurut sistem pemerintahan parlementer itu Presiden dan Wakil Presiden adalah sekedar Presiden konstitusional dan “tidak dapat diganggu gugat”. Yang bertanggung jawab adalah para Menteri kepada Parlemen (DPR)
2) Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang menganut sistem parlementer, berpijak pada landasan pernikiran demokrasi liberal yang mengutamakan pada kebebasan individu, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 menganut sistem presidensial berpijak pada landasan Demokrasi Pancasila, yang berintikan, kerakyatan, yang dipimpiil oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Presiden bertanggtung jawab kepada pemberi mandat,MRR,tidak kepada DPR.
Pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan akibatnya jelas telah kita saksikan bersama, berupa kekacauan, baik di bidang politik, keamanan, maupun ekonomi. .
Sebabnya ialah sistem Kabinet Parlementer yang dianut UUDS 1950 menyebabkan tidak tercapainya stabilitas politik dan pemerintahan dikarenakan sering bergantinya kabinet yang didasarkan kepada dukungan suara di Parlemen. Dan tahun 1950 s/d 1959 telah terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali yang dengan sendirinya menggambarkan; bahwa program dari suatu kabinet tidak dapat dilaksanakan secara baik dan berkesinambungan. Oleh karena itulah pada waktu itu telah timbul pendapat-pendapat dalam masyarakat agar kita kembali saja kepada sistem kabinet presidensial, seperti yang termuat di dalam UUD Proklamasi.
Pada bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan pernilihan umum, masing-masing untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Konstituante. Tugas Konstituante adalah untuk membuat suatu Rancangan Undang-Undang Dasar sebagai pengganti UUDS 1950, yang menurut Pasal 134 akan ditetapkan selekas-lekasnya bersama-sama dengan pemerintah.
Untuk mengambil putusan mengenai Undang-Undang Dasar maka Pasal 137 UUDS 1950 menyatakan bahwa :
1. Untuk mengambil putusan tentang Rancangan Undang-Undang Dasar baru jika sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota konstituante harus hadir;
2. Rancangan tersebut diterirna jika disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir;
3. Rancangan yang telah diterima oleh Konstituante dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah;
4. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengari segera serta mengumumkan Undang-Undang Dasar itu dengan keseluruhan.
Lebih dari dua tahun bersidang Konstituante belum berhasil merumuskan Rancangan Undang-Undang Dasar baru. Perbedaan pendapat yang telah menjadi perdebatan-perdebatan di dalam gedung Konstituante mengenai dasar negara telah menjalar ke luar gedung Konstituante dan yang diperkirakan pula akan menimbulkan ketegangan-ketegangan politik dan fisik di kalangan masyarakat. Dalam suasana seperti itu Presiden dalam pidatonya di depan sidang Konstituante tanggal 22 April 1959 menyarankan “marilah kita kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945″.
Saran untuk kembali kepada UUD 1945 itu pada hakikatnya dapat diterima oleh para anggota Konstituante, namun dengan pandangan yang berbeda”.
Yang pertama, menerima saran kembali kepada UUD 1945 suara utuh, dan yang kedua menghendaki kembalinya kepada UUD 1945 dengan suatu amandemen, yakni dimasukkannya lagi tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, pada sila pertama Pancasila dibelakang “kata Ketuhanan” seperti yang tercantum dalam Piagam Jakarta ke dalam Pembukaan UUD 1945.
Karena tidak memperoleh kemufakatan antara pandangan-pandangan yang berbeda itu, maka Konstituante mengadakan pemungutan suara terhadap usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Pertama-tama diadakan Pemungutan suara terhadap usul amandemen, dan dilaksanakan tanggal 29 Mei 1959. Usul amandemen itu tidak memperoleh. suara dua pertiga dari anggota yang hadir. Anggota yang hadir waktu itu 470 Orang, sedangkan yang menyetujui usul amandemen 201 orang dan yang tidak menyetujuinya 265 orang.
Selanjutnya dilaksanakan pemungutan suara terhadap usul Pemerintah untuk kembali ke UUD i94S. Pemungutan suara dilakukan sebanyak tiga kali.
Tanggal 30 Mei 1959 diadakan pemungutan suara yang pertama dengan hasil 269 suara setuju dan 199 suara menolak. Karena persyaratan formal, yaitu 2/3 dari jumlah anggota yang hadir sesuai dengan ketentuan pasal 137 UUDS 1950 tidak terpenuhi, maka tanggal 1 Juni 1959 diselenggarakan pemungutan suara yang kedua. Hasilnya adalah 264 suara setuju menerima usul untuk kembali ke UUD 1945 dan 204 suara menolak, yang juga tidak memenuhi kourum. Pemungutan suara ketiga dilangsungkan tanggal 2 Juni 1945 dan secara rahasia dengan hasil 263 suara setuju dan 203 menolak, sehingga persyaratan formal juga tidak dapat dipenuhi.
Sesuai dengan tata tertib Konstituante yang ditentukan, bahwa pemungutan suara untuk amandemen dilakukan satu kali, dan kepada materi baru dilakukan sebanyak tiga kali. Dengan demikian menunjukkan bahwa usul Pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 tidak mendapat persetujuan dari lembaga Konstituante meskipun telah disetujui oleh lebih dari setengah anggotanya .
Sehari setelah pemungutan suara yang ketiga kalinya itu, Konstituante menjalani reses. Selama reses itu lebih dari separoh anggota Konstituante menyatakan, bahwa setelah reses nanti mereka tidak akan menghadiri Sidang lagi. Ini berarti bahwa Konstituante gagal dalam tugasnya untuk menetapkan UUD yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950. Keadaan itu dianggap oleh Presiden sebagai keadaaan yang dapat membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa dan negara.
5.4 Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 5 Juli 1959 s/d 1998
Dalam keadaan yang menurut pandangan Kepala Negara (presiden) menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa. Maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Tindakan Presiden mengeluarkan Dekrit tersebut dibenarkan berdasarkan hukum darurat negara (staatsnoodrecht).
Berdasarkan alasan yang kuat seperti dikemukan di atas, dan dengan dukungan dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, dikeluarkanlah Dekrit oleh Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 tentang kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Diktum Dekrit Presiden itu adalah :
1. Menetapkan pembubaran Konstituante;
2. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950;
3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dekrit itu dibacakan secara lisan oleh Presiden di Istana Merdeka pada tanggal 5 Juli 1959, hari Minggu pukul 17.00 waktu Jawa. Dekrit itu kemudian diumumkan dengan Keputusan Presiden NO.150 tahun 1959 yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia NO.75 tahun 1959. Pada Lembaran Negara itu dilampirkan satu naskah Undang-Undang Dasar 1945.
Meskipun esensinya sama, namun lampiran pada Lembaran Negara NO.75 tahun 1959 itu tidak seluruhnya sama bunyinya dengan naskah Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dimuat dalam berita Republik Indonesia Tahun II NO.7 tanggal 15 Pebruari 1946. Karena salah satu diktum Dekrit jelas menyatakan “Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …. ” maka yang dimaksud adalah naskah Undang-Undang Dasar yang ditetapkan oleh PPKI dan dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Adapun naskah sebagai lampiran Keputusan Presiden No.150 tahun 1959 yang dimuat dalam lembaran Negara No. 75 tahun 1959 itu pada hakikatnya berfungsi sebagai kelengkapan dalam mengumumkan secara tertulis Dekrit Presiden itu.
Sejak 5 Juli 1959 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sejak itu telah cukup banyak pengalaman yang kita peroleh dalam melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945. Apabila diadakan perbandingan mengenai pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk kurun waktu antara 1959–1965 (Orde Lama) dan kurun waktu 1966 hingga kini (Qrde Baru), maka jelas terlihat serta dirasakan kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam Orde Lama, lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA, dan BPK belum dibentuk berdasarkan undang-undang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945; lembaga-lembaga negara tersebut masih “dalam bentuk sementara. Belum lagi jika kita mengupas ‘tentang berfungsinya lembaga-Iembaga negara tersebut telah sesuai ‘atau tidak dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 .
Beberapa penyimpangan konstitusi sejak tahun 1959 (orde lama) sampai dengan lahirnya Orde Baru antara lain:
1) Pada masa Orde Lama itu Presiden, selaku’ pemegang kekuasaan eksekutif, dan pemegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya. Presiden telah mengeluarkan produk legislatif yang pada hakikatnya adalah Undang-undang (sehingga sesuai UUD 1945 harus dengan persetujuan DPR) dalam bentuk penetapan Presiden, tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
2) MPRS, dengan Ketetapan NO.I/MPRS/1960 telah mengambil putusan menetapkan pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang lebih dikenal.
3) Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) sebagai GBHN bersifat tetap, yang jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
4) MPRS telah mengambil putusan untuk mengangkat Ir. Soekamo sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, yang menetapkan masa jabatan Presiden,lima tahun.
5) Hak budget DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 Pemerintah tidak mengajukan Rancangan Undang-undang APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya.tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam tahun 1960, karena. DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Pemerintah, maka Presiden waktu itu membubarkan DPR basil Pemilihan Umum 1955 dan membentuk DPR Gotong Royong, disingkat DPR-GR.
6) Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan menteri-menteri negara sedangkan Presiden sendiri menjadi ketua DPA, yang semuanya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Inilah beberapa contoh kasus penyimpangan konstitusional yang serius terhadap pelaksanaan Undang-Dasar 1945 . Penyimpangan ini jelas bukan saja telah mengakibatkan tidak berjalannya sistem yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, melainkan juga telah mengakibatkan memburuknya keadaan politik dan keamaan serta terjadinya kemerosotan di bidang ekonomi yang mencapai puncaknya dengan pemberontakan G30S/PKI Pemberontakan G30S/PKI yang dapat digagalkan berkat kewaspadaan dan kesigapan ABRI dengan dukungan kekuatan rakyat telah mendorong lahirnya Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara mumi dan konsekuen.
5.5 Penyimpangan Konstitusi Pada Periode 5 Juli 1959 s/d 1998
Orde Baru yang lahir dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuensi ternyata tidak mampu melakukannya. Bahkan pada masa Orde Baru ini telah pula terjadi penyimpangan konstitusional, diantaranya:
1) Pembatasan hak-hak politik rakyat Sejak tahun 1973 jumlah parpol di Indonesia dibatasi hanya 3 buah saja (PPP, Golkar, dan PDI). Pertemuan-pertemuan politik harus mendapat ijin penguasa. Pers dinyatakan bebas, tetapi pemerintah dapat membreidel penerbitan pers (Tempo, Editor, Sinar Harapan dan lain-lain). Para pengeritik pemerintah dikucilkan secara politik, atau bahkan diculik. Pegawai Negeri dan ABRI diharuskan mendukung partai penguasa, Golkar. Hal-hal tersebut di atas bertentangan dengan UUD 1945 terutama dalam kaitannya dengan pasal-pasal yang berkenaan dengan Hak-hak Asasi Manusia
2) Pemusatan kekuasaan di tangan presiden Walaupun secara formal lembaga negara (MPR, DPR, MA, dan lain-lain) mempunyai fungsi yang semestinya, namun dalam praktek melalui mekanisme politik tertentu Presiden dapat mengendalikan berbagai lembaga negara di luar dirinya.
Latihan Uji Kompetensi
1) Tunjukkan bukti-bukti penyimpangan terhadap UUD 1945 pada periode 1945-1949
2) Tunjukkan contoh penyimpangan terhadap UUD 1945 sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga munculnya gerakan reformasi
6. AMANDEMEN (PERUBAHAN) UUD 1945 DAN HASIL-HASILNYA
6.1 Dasar Pemikiran Perlunya Amandemen UUD 1945
Setelah mengalami pasang surut, baik pada era Orde Lama maupun Orde Baru, muncul tuntutan perubahan UUD 1945 pada era reformasi. Untuk memahami bagaimana Perubahan UUD 1945 itu terjadi, kalian akan diajak untuk memahami mulai dari dasar pemikiran, tujuan, dasar yuridis, kesepakatan dasar, awal perubahan, tingkat-tingkat pembicaraan, jenis-jenis perubahan, dan hasil perubahan.
Perlunya perubahan UUD 1945 semata-mata karena kelemahan yang dimiliki oleh UUD 1945. Kelemahan-kelemahan tersebut di antaranya sebagai berikut.
1) Struktur Kekuasaan dalam UUD 1945
Struktur kekuasaan dalam UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Karena itu, sering muncul anggapan bahwa kekuasaan dalam UUD 1945 sebelum perubahan terlalu bertumpu pada Presiden. Presiden tidak hanya sebagai pemegang dan menjalankan kekuasaan pemerintahan, tetapi juga menjalankan kekuasaan untuk membentuk undang-undang, di samping hak konstitusional khusus (lazim disebut hak prerogatif) seperti memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
6.2 Berkaitan dengan Sistem Saling Mengawasi dan Mengimbangi (Checks and Balances)
Struktur UUD 1945 tidak cukup memuat sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antarcabang kekuasaan (lembaga negara) untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindakan melampaui wewenang. Akibatnya, kekuasaan Presiden yang besar makin menguat karena tidak cukupnya mekanisme kendali dan pengimbang dari cabang kekuasaan yang lain. Misalnya tidak terdapat ketentuan yang mengatur pembatasan wewenang Presiden menolak mengesahkan suatu Rancangan Undang-Undang yang sudah disetujui DPR.
6.3 Ketentuan-Ketentuan yang Tidak Jelas
a. Terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas, yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip negara berdasarkan konstitusi. Misalnya, ketentuan (konstitusionalisme). tentang pemilihan kembali Presiden (” … dan sesudahnya dapat dipilih kembali”). Ketentuan ini menumbuhkan praktik, Presiden yang sama dipilih terus menerus, tanpa mengindahkan sistem pembatasan kekuasaan sebagai suatu prinsip dasar negara berdasarkan konstitusi
b. Ketentuan yang menyatakan “Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuh-nya oleh MPR”. Dengan ungkapan “dilakukan sepenuhnya”, ada yang menafsirkan hanya MPR yang melakukan kedaulatan rakyat sehingga DPR yang merupakan wakil rakyat dipandang tidak melakukan kedaulatan rakyat.
c. Ketentuan mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Karena tidak jelas, menimbulkan pendapat bahwa selama undang-undangnya belum dibentuk, hak-hak tersebut belum efektif. Cara pemaknaan semacam itu tidak sesuai dengan pengertian hak asasi sebagai hak alami.
6.4 Kedudukan Penjelasan UUD 1945
a. Tidak ada kelaziman UUD memiliki Penjelasan yang resmi. Apalagi kemudian, baik secara hukum atau kenyataan, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti UUD(Batang Tubuh). Penjelasan UUD 1945 bukan hasil kerja badan yang menyusun dan menetapkan UUD 1945 (BPUPK dan PPKI), melainkan hasil kerja pribadi Supomo, yang kemudian dimasukkan bersama-sama Batang Tubuh ke dalam Berita Republik Tahun 1946, kemudian dimasukkan ke dalam Lembaran Negara RI Tahun 1959 (Dekrit).
b. Dalam berbagai hal, Penjelasan mengandung muatan yang tidak konsisten dengan Batang Tubuh atau pasal-pasal, memuat pula keterangan-keterangan yang semestinya menjadi materi muatan Batang Tubuh.
7. Tujuan Amandemen UUD 1945
Melakukan perubahan atas sesuatu tentu saja memiliki tujuan. Demikian pula halnya dengan perubahan UUD 1945 yang mempunyai beberapa tujuan, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional dan memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi;
3. menyempurnakan aturan dasar mengenai supremasi hukum, jaminan hak-hak konstitusional rakyat dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan paham nomokrasi dan rumusan negara hukum yang tercantum dalam UUD 95;
4. menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern. antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling mengimbau yang lebih kuat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi kebutuhan bangsa di tantangan zaman;
5. menyempurnakan aturan dasar mengenai tugas, tanggung jawab, kewajiban negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertib dunia;
6. melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggara negara bagi eksistensi (keberadaan) negara dan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum;
7. menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuh bangsa.
8. Dasar Yuridis Amandemen UUD 1945
MPR melakukan perubahan UUD 1945 dengan berpedoman pada penentuan Pasal 37 UUD 1945. Masih ingatkah kalian ketentuan apa yang : atur oleh pasal tersebut? Pasal 37 UUD 1945 mengatur prosedur :perubahan UUD 1945. Namun bagaimana dengan Ketetapan MPR Nomor /MPR/1983 tentang Referendum? Ketetapan MPR tersebut isinya mengatur tata cara perubahan UUD 1945 yang harus meminta terlebih dahulu pendapat rakyat melalui referendum. Jika mayoritas rakyat enghendaki perubahan tersebut, barulah MPR melakukan perubahan tersebut.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum tidak sesuai dengan cara perubahan seperti diatur pada Pasal 37 UUD 1945. Maka sebelum melakukan perubahan UUD 1945, MPR dalam Sidang lstimewa PR tahun 1998 mencabut Ketetapan MPR tentang referendum tersebut.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa dasar yuridis formal perubahan UUD 1945 adalah Pasal 37 UUD 1945. Naskah yang menjadi objek perubahan adalah UUD 1945 yang ditetapkan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang selanjutnya dikukuhkan secara aklamasi pada 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959.
9. Kesepakatan Dasar dalam Perubahan UUD 1945
Penting kita ketahui dari proses perubahan UUD 1945 itu adalah ada kesepakatan dasar dalam perubahan tersebut. Jika tidak ada kesepakatan dasar yang disepakati sebelumnya, perubahan dapat tidak memiliki yang jelas. Perubahan UUD 1945 muncul dari adanya tuntutan refol yang salah satu diantaranya menginginkan adanya perubahan UUD.
Kesepakatan dasar itu disusun oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja I yakni sebagai berikut:
1) sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2) sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3) sepakat untuk mempertahankan sistem presidensil (dan pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memeberi ciri-ciri umum sistem presidensil);
4) sepakat untuk tidak menggunakan lagi Penjelasan UUD 1 sehingga hal-hal normatif yang ada di dalam penjelasan dipindah ke dalam pasal-pasal; dan
5) sepakat untuk menempuh cara addendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945
10. Hasil Amandemen/Perubahan UUD 1945
Secara umum hasil perubahan yang dilakukan dengan bertahap adalah sebagai berikut:
1. Perubahan Pertama UUD 1945 hasil Sidang Umum MPR (ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999).
Meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21 1945. 8erdasarkan ketentuan pasal-pasal yang diubah, Perubahan Pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan F (DPR) sebagai lembaga legislatif.
2. Perubahan Kedua UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000). Meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 a) Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22b, Bab IXA, Pasal 28A, Pasal 28B, pasal 28C, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945. Perubahan kedua ini meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR, dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.
3. Perubahan Ketiga UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2001 (ditetapkan pad tanggal 9 November 2001).
Mengubah dan/atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7 A, Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24 B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945. Materi Perubahan Ketiga UUD 1945 meliputi ketentuan tentang asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara, dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan tentang Pemilihan Umum.
4. Perubahan Keempat UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun 2002 (ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002).
Perubahan dan/atau penambahan dalam Perubahan Keempat ini meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32 ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasall dan 11 UUD 1945. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.