Masa Kolonial Hindia Belanda
1. MASA KOLONIAL BELANDA 1800-1825
Sejak dahulu, bangsa-bangsa di dunia tertarik untuk mengusai Indonesia, terutama bangsa-bangsa Barat. Hal itu disebabkan oleh letak Indonesia yang sangat strategis dan kekayaan alamnya berlimpah-limpah. Dikatakan strategis karena Indonesia berada di persimpangan dua samudera dan dua benua. Selain itu Indonesia juga terletak di jalur perdagangan dunia. Di samping tanahnya sangat subur, Indonesia juga mempunyai kandungan alam yang banyak, seperti minyak. emas, dan tembaga. Di antara bangsa-bangsa Barat yang datang di Indonesia, Belandalah yang paling bernafsu menguasai Indonesia. Untuk melaksanakan tekadnya itu Belanda mendirikan VOC. VOC adalah kongsi dagang Belanda yang mencari keuntungan yang sebesar-besarnya di Indonesia. Oleh karena itu, mereka tidak menghiraukan kemajuan Indonesia. Setelah satu abad malang melintang di Indonesia, pada tahun 1799 VOC dibubarkan. Adapun sebab-sebab jatuhnya VOC antara lain karena korupsi yang merajalela di kalangan para pegawainya. Selain itu, banyak pegawainya yang tidak cakap. Hal ini menyebabkan pengendalian monopoli perdagangan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebab lain adalah VOC banyak menanggung hutang. Hutang tersebut akibat peperangan yang dilakukan baik dengan rakyat Indonesia maupun dengan Inggris dalam memperebutkan kekuasaan di bidang perdagangan. Selain itu terjadi kemerosotan moral di kalangan para pegawai akibat sistem keuangan yang dinilai kurang transparan. Keserakahan VOC membuat penguasa lokal tidak bersungguh-sungguh membantu VOC dalam perdagangan. Akibatnya, rempah-rempah yang diperoleh VOC tidak seperti yang diharapkan. Penyebab terakhir adalah tidak jalannya Verplichte leverantien (penyerahan paksa) dan Preangerstelsel (aturan Priangan) karena korupsi dan biaya pengeluaran yang terlalu besar. Kedua aturan itu dimaksudkan untuk mengisi kas VOC yang kosong. Verplichte leverentien mewajibkan penduduk menyerahkan hasil bumi berupa lada, kayu, kapas, beras, nila, dan gula kepada VOC dengan tarif yang ditentukan VOC. Preangerstelsel mewajibkan rakyat menanam kopi lalu menyerahkannya kepada VOC dengan tarif yang ditentukan VOC. Setelah VOC bubar, Indonesia diserahkan kepada pemerintah Belanda (Republik Bataaf). Pegawai-pegawai VOC menjadi pegawai pemerintah Belanda. Hutang VOC juga menjadi tanggungan negeri Belanda. Dengan demikian sejak tanggal 1 Januari 1800 Indonesia dijajah langsung oleh negeri Belanda. Sejak saat itu Indonesia disebut Hindia Belanda. Sejak itu di Indonesia berlangsung masa kolonialisme.
Setelah Indonesia menjadi Hindia Belanda, ternyata nasibnya juga tidak lebih baik dibanding masa VOC. Hal ini disebabkan karena karakter pimpinan kolonial di Indonesia yang kurang bersahabat dengan rakyat dan tujuan Belanda menguasai Indonesia juga tidak berubah. Indonesia yang sejak dahulu telah dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, selalu menjadi incaran banyak bangsa untuk menguasai Indonesia. Tidak heran banyak terjadi perang antar bangsa untuk memperebutkan Indonesia. Seiring dengan uraian di atas, maka pada bagian berikut ini akan diuraikan tentang masa politik kolonial liberal (1800-1811), masa penjajahan liberal di Indonesia atau masa pemerintahan Raffles (1811-1816), masa Komisi Jenderal (1816-1819), sampai dengan masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825).
2. Masa Politik Kolonial Liberal (1800-1811)
Politik kolonial liberal digelar sejak 1 Januari 1800, dijalankan oleh gubernur Jenderal van Straten dan Gubernur Jenderal Daendels. Pada tahun 1800, Negeri Belanda berada di bawah penjajahan Perancis. Perancis di bawah Napoleon berhasil merebut Belanda, sehingga secara tidak langsung Indonesia dijajah Perancis. Kerajaan Belanda dilebur menjadi Republik Bataaf yang dikuasai oleh partai Patriot yang dipimpin Daendels. Oleh Napoleon, Daendels diangkat menjadi panglima perang. Kemudian Negeri Belanda diubah menjadi kerajaan lagi. Rajanya adalah Louis Napoleon, adik Napoleon Bonaparte, yang bercita-cita menguasai seluruh Eropa dengan pimpinan keluarganya sendiri.
Perang Perancis-Inggris membahayakan Indonesia, karena Inggris berusaha merebut daerah-daerah VOC. Louis Napoleon mengirim Daendels sebagai Gubernur Jenderal ke Indonesia. Tugas utama Daendels di Indonesia adalah mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Tugas lainnya adalah memperbaiki nasib rakyat selaras dengan cita-cita Revolusi Perancis.3 Dalam menjalankan tugasnya itu, Daendels memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat oleh VOC. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, serta hak-hak bupati mulai dibatasi, terutama yang menyangkut penggunaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat. Baik wajib tanam maupun wajib kerja hendak dihapuskannya. Hal ini tidak hanya akan mengurangi pemerasan oleh para penguasa tetapi juga lebih selaras dengan prinsip kekebasan berdagang. 4 Kondisi pada waktu itu menjadi hambatan pokok bagi pelaksanaan ide-ide bagus tersebut. Hal ini disebabkan karena pada saat itu keadaan masih berlaku zaman VOC ialah bahwa para bupati dan penguasa daerah lainnya masih memegang peranan dalam perdagangan. Sebagai perantara mereka memperoleh keuntungan, antara lain berupa prosenan kultur. Hadiah tersebut berupa presentasi dari harga tafsiran penyerahan wajib dan kontingen yang dipungut dari rakyat. Sistem itu membawa akibat bahwa pasaran bebas tidak berkembang dan tidak muncul suatu golongan pedagang, suatu unsur sosial yang lazim berperan penting dalam proses liberalisasi masyarakat feodal atau tertutup. Faktor penghambat kedua adalah bahwa dalam struktur feodal itu kedudukan bupati sangat kuat, sehingga setiap tindakan perubahan tidak dapat berjalan tanpa kerjasama mereka. Kepemimpinannya berakar kuat dalam masyarakat sehingga tidak mudah menggeser kedudukannya, apalagi mengurangi kekuasaan dan wewenangnya. Adapun faktor ketiga terdapat dalam tugas pemerintahan Daendels sendiri yaitu untuk mempertahankan Pulau Jawa terhadap serangan Inggris. Daendels memperkuat angkatan darat, angkatan laut dan melakukan perbaikan keuangan pemerintah. Dalam rangka memperkuat angkatan darat, Daendels meningkatkan jumlah tentaranya. Ia mengangkat orang-orang Indonesia terutama orang Minahasa dan Madura. Demikian juga para budak dibebaskan untuk dijadikan prajurit. Dalam waktu singkat Daendels memiliki 20 ribu prajurit Untuk kelengkapan prajurit tersebut, didirikan pabrik senjata di Semarang dan Surabaya. Demikian pula, agar pemindahan tentara di pantai utara Jawa bisa dilakukan dengan cepat, Daendels membuat jalan raya dari Anyer sampai Penarukan sepanjang 1000 km dengan kerja rodi (paksa). Jalan raya itu disebut Jalan Raya Pos (Grote Postweg). Untuk keperluan pembangunan raksasa itu dibutuhkan tenaga rakyat, maka dari itu wajib kerja (verplicte diensten) dipertahankan. Di samping itu wajib penyerahan juga masih berlaku yaitu pajak hasil bumi (kontingenten). Ia juga mengadakan pinjaman paksa dan monopoli beras, serta menjual sebagian tanah gubernemen (pemerintah) kepada kaum pengusaha (partikelir atau swasta). Dengan demikian pada masa pemerintahan Daendels sebenarnya sistem tradisional masih berjalan terus. Sejalan dengan prinsip-prinsip kebijaksanaannya Daendels membatasi kekuasaan para raja, antara lain hak mengangkat penguasa daerah diatur kembali, termasuk larangan untuk menjual-belikan jabatan itu. Karena mengadakan pemberontakan atau menentang kebijaksanaan Daendels maka kesultanan Banten dihapuskan. Dengan dibangunnya Jalan Raya Pos, ternyata bukan hanya kepentingan militer saja yang terlayani, tetapi jalan tersebut juga sangat penting untuk pengembangan sosial, ekonomi dan politik. Ini berarti bahwa jalan tersebut tidak hanya berperan dalam bidang transportasi, tetapi juga dalam bidang administrasi pemerintahan dan mobilitas sosial. Daendels dikenal memiliki sifat gila hormat, gila kuasa dan keras kemauannya. Karena sifat-sifatnya itu ia dijuluki Tuan Besar Bledeg (Tuan Besar Guntur), sehingga mengundang kebencian rakyat dan para pegawainya. Louis Napoleon yang merasa bertanggung jawab atas baik-buruknya pemerintahan di Indonesia, merasa tersinggung kehormatannya atas sikap Daendels itu. Karena itu pada tahun 1811 ia dipanggil ke Eropa dan diganti oleh Jansens. Setelah dicopot dari jabatannya, ia menjadi opsir tentara Perancis dan ikut menyerang Rusia pada tahun 1812. Ketika Napoleon jatuh pada tahun 1814, Daendels kembali ke Negeri Belanda dan diangkat menjadi Gubernur di Guinea Afrika (Afrika Barat) sampai meninggal pada tahun 1818.
3. Masa Pemerintahan Liberal 1811-1816
Tidak lama setelah Daendels diganti Jansens, tentara Inggris di bawah pimpinan Lord Minto menyerang Jawa. Inggris mendapat simpati raja-raja di Jawa, sehingga akhirnya dengan mudah dapat merebut Batavia. Pada tahun 1811 itu pula Jansens menyerah tanpa syarat kepada Inggris di Tuntang, sehingga terjadi rekapitulasi Tuntang yang berisi
(1) seluruh kekuatan militer Belanda di Asia Tenggara harus diserahkan kepada Inggris,
(2) hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh Inggris, dan
(3) Pulau Jawa, Madura, dan semua pangkalan Belanda di luar Jawa menjadi milik Inggris. Ini berarti bahwa Belanda menyerahkan semua daerah jajahannya di Asia Tenggara kepada Inggris.
Dalam perkembangannya semua bekas jajahan Belanda di Asia Tenggara itu oleh Inggris dibagi empat, yaitu Sumatera Barat, Malaka, Maluku, dan Jawa serta daerah sekitarnya. Seluruhnya dikuasai oleh Gubernur Jenderal EIC (East Indian Company), Lord Minto yang berkedudukan di Calcutta (India). Pulau Jawa diserahkan kepada Thomas Stamford Raffles selaku wakil Lord Minto di Pulau Jawa dengan pangkat Letnan Gubernur. Untuk melancarkan pemerintahannya, Raffles membagi Pulau Jawa menjadi 16 keresidenan (pada masa Daendels hanya dibagi menjadi 8 prefektur). Tiap-tiap keresidenan dibentuk badan pengadilan (landraad).5 Karena ancaman musuh tidak ada, maka tugas utama Raffles adalah memperbaiki nasib rakyat. Dalam rangka memperbaiki nasib rakyat, pajak hasil bumi (kontingen) dan leveransi paksa dihapus diganti pajak tanah (landrente). Dengan pengertian bahwa semua tanah milik Gubernemen sehingga rakyat wajib membayar rente atau sewa. Pajak tanah ditetapkan sebesar 2/5 hasil panen, boleh dibayar dengan hasil bumi atau uang. Di samping itu, Raffles juga menjual tanah Gubernemen kepada orang-orang swasta. Raffles juga melarang perdagangan budak dan pandelingschap (membayar hutang dengan tenaga). Raflles juga mengadakan monopoli garam. Di samping menganbil kebijakan dalam bidang politik dan ekonomi, Raffles juga memperhatikan bidang kebudayaan. Raffles menulis buku History of Java pada tahun 1817. Dengan giat Raffles membantu lembaga Betawi untuk kesenian dan pengetahuan. Ia juga memberi bantuan kepada ahli-ahli pengetahuan seperti Horsfield, Crewford, dan Mackensie, untuk meneliti sejarah Indonesia kuno. Setelah kedudukannya kuat, Raffles lalu mengambil berbagai tindakan terhadap raja-raja di Indonesia, misalnya:
1. Sultan Banten dan sultan Cirebon dijadikan sultan-sultan yang digaji.
2. Sultan Hamengku Buwono II dari Yogyakarta diasingkan ke Pulau Penang dan puteranya dipaksa menggantinya sebagai Hamengku Buwono III.
3. Beberapa daerah kesultanan Yogyakarta pada tahun 1813 diserahkan kepada Pangeran Notokusumo, yang bergelar Paku Alam I di Pakualaman.
4. Paku Buwono IV harus menyerahkan Banyumas dan Madiun kepada Inggris.
5. Ide dasar politik kolonial Raffles sebenarnya bertolak dari ideologi liberal dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan memberikan kebebasannya. Akibat pelaksanaan politik liberal itu, maka struktur tradisional dan feodal dirombak dan diganti dengan sistem baru yang didasarkan pada prinsip legalrasional. Untuk melaksanakan politiknya, Raffles dihambat oleh unsur feodal yang sangat kuat kedudukannya dan sistem ekonomi yang masih bersifat tertutup sehingga pembayaran pajak belum dapat dilakukan sepenuhnya dengan uang, tetapi in natura (hasil bumi). Dengan demikian, politik kolonial berdasarkan liberalisme tidak cocok dan tidak realistis.
6 Setelah Napoleon jatuh tahun 1814, Inggris dan Belanda mengadakan Tarktat London I (1814). Traktat tersebut menyatakan bahwa semua daerah jajahan Belanda yang direbut Inggris, dikembalikan kepada Belanda, kecuali Kaapkoloni dan Sri Lanka. Keputusan itu mengecewakan Raffles. Ia tidak mau menyerahkan Indonesia kepada Belanda. Karena dipaksa, maka Raffles mengundurkan diri dan diganti John Fendall. Pada tahun 1816 John Fendall menyerahkan Indonesia kembali kepada Belanda. D. Masa Komisi Jenderal (1816-1819). Setelah Traktat London I ditandatangani (1814), maka pemerintah Belanda membentuk suatu komisi yang akan menerima kembali semua jajahannya di Asia Tenggara dari pemerintah Inggris di Indonesia. Walaupun Raffles selalu menghalanghalangi pengembalian daerah jajahan Belanda itu, namun usaha tersebut hanya bisa menunda waktu penyerahan, karena akhirnya dikembalikan juga. Raffles yang tidak setuju pengembalian daerah jajahan tersebut, terutama Pulau Jawa, maka setelah menyerahkan jabatannya kepada Jansens, ia lalu pergi ke Bangkahulu dan menjadi Gubernur di daerah itu. Tetapi tindakan Raffles itu ditentang Muntinghe (penguasa Belanda di Palembang). Akhirnya Raffles pergi ke Selat Malaka. Sewaktu melewati bukit Barisan ia menemukan bunga Rafllesia, yaitu bunga yang terbesar di dunia. Dari situ akhirnya Raffles berhasil mendirikan kota Singapura untuk menyaingi dan menutup pelabuhan Belanda di Batavia. Sementara itu komisi yang dibentuk Belanda untuk menerima kembali Indonesia dari Inggris dinamakan Komisi Jenderal. Adapun anggota komisi tersebut adalah Cornelius Theodore Elout, A. A. Buyskes dan Baron van der Capellen. Dalam tahun 1816 komisi ini datang ke Indonesia. Dalam tahun itu juga Letnan Gubernur Inggris, John Fendall menyerahkan Indonesia kepada Belanda. Di samping bertugas menerima Indonesia dari tangan Inggris, komisi tersebut juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang lain yaitu:
a. Menyusun pemerintahan baru.
b. Mengusahakan ketenteraman dan perbaikan nasib penduduk Indonesia, misalnya penduduk harus dilindungi dari perlakuan sewenang-wenang, perdagangan dan pertanian (penanaman) harus bebas, kecuali tanaman kopi, rempah-rempah dan candu.
c. Menyusun angkatan darat dan laut.
d. Menyusun peraturan-peraturan sebagai pedoman pemerintahan Belanda di Indonesia.
Berdasarkan hak dan kewajiban Komisi Jenderal, akhirnya berhasil disusun suatu pedoman pemerinhan yang benar-benar bersifat liberal 7, yaitu:
a. Pajak tanah yang dibuat oleh Raffles dilanjutkan, hanya lebih disempurnakan agar peraturan-peraturan yang bersifat sewenang-wenang tidak terjadi lagi.
b. Pajak tersebut dapat dibayar dengan uang kontan atau dengan barang-barang. Peraturan ini bertujuan untuk menghindarkan rakyat dari para peminjam uang, serta agar lebih memudahkan bagi mereka yang memiliki uang.
c. Pajak kepala tidak dipungut secara perorangan tetapi dibayar oleh desa. Cara ini menyimpang dari tujuan, namun merupakan pendekatan yang lebih realistis. Namun sistem ini bisa mengurangi banyaknya petugas, serta mengatasi kesulitan tanahtanah yang belum diukur secara renci.
d. Besarnya pajak harus disetujui oleh kerajaan dan desa yang bersangkutan.
e. Rakyat tidak boleh disuruh kerja paksa. Orang-orang yang datang bekerja dengan sendirinya harus dibayar sesuai dengan bidang garapnya.
f. Penanaman wajib bagi tanaman-tanaman tertentu diteruskan guna mendapatkan devisa negara, misalnya kopi di Priangan. Pengawasan tanaman model pelayaran Hongi di Maluku, dihapuskan.
g. Perlu ada penambahan pegawai, pegawai yang buruk dipecat. Pegawai pribumi diperlakukan dengan hormat, dan digaji dengan uang (bukan tanah atau memeras rakyat).
h. Sistem pemerintahan tidak langsung dihidupkan kembali, pengadilan dibentuk, dengan sistem dua lapis. Perkara yang menyangkut orang Eropa dan pribumi hendaklah diadili dalam pengadilan yang berbeda, dan dipimpin oleh hakim bukan juri.
i. Pembaruan Raffles yang menghormati hak asasi manusia dan penghapusan perbudakan diteruskan dan diabadikan.
Rencana undang-undang yang dibuat oleh Komisi Jenderal tersebut akhirnya disahkan pada tahun 1819. Melihat roh undang-undang baru itu jelaslah bahwa pemerintah Belanda akan menguntungkan rakyat Indonesia akan diberlakukan, terutama di Jawa. Jika undang-undang itu dilaksanakan secara jujur, maka rakyat Indonesia akan terbebaskan dari pemerintahan yang kejam yang telah dirasakan selama ini.8 Dalam pada itu Belanda juga akan mendapat faedah yang besar. Nampaknya undang-undang yang bersifat liberal ini benar-benar akan dilaksanakan sungguhsungguh sebab salah seorang anggota Komisi Jenderal, yakni Gourdet A. Baron van der Capellen tinggal di Indonesia sebagai Gubernur Jenderal yang baru, sekaligus yang akan melaksanakan undang-undang yang liberal itu. E. Masa van der Capellen (1819-1825) Pada tahun 1819 tugas Komisi Jenderal dinilai sudah selesai, sehingga Elout dan Buyskes kembali ke Nederland sedangkan van der Capellen tinggal di Indonesia sebagai Gubernur Jenderal. Karena van der Capellen ikut menyusun undang-undang yang akan diterapkan di Indonesia setelah wilayah itu kembali kepada Belanda. Karena itu pengangkatannya sebagai gubernur jenderal karena dia dianggap yang paling megetahui bagaimana undang-undang itu dilaksanakan. Tetapi apa yang dijalankan oleh van der Capellen ternyata tidak seperti yang direncanakan. Adapun alasan van der Capellen melakukan penyimpangan tersebut adalah karena undang-undang itu ternyata tidak dapat dilaksanakan dalam kondisi di Indonesia saat itu. Menurut van der Capellen, tugas yang paling penting adalah mengumpulkan uang untuk menjalankan pemerintahan yang baru itu. Jika peraturan yang liberal dalam regerings-reglement tahun 1819 itu diterapkan sepenuhnya, maka tidak akan memperoleh dana.9 Dengan alasan tersebut, van der Capellen ingin mencari jalan pintas. Oleh karena itu beberapa peraturan ditangguhkan, sedangkan aturan-aturan yang menguntungkan pemerintah dilakukan. Karena tindakannya itu, Clive Day menyebut van der Capellen adalah Gubernur Jenderal yang reaksioner. Pendapat tersebut juga sejalan kritik-kritik yang dilakukan berbagai pihak kepada van der Capellen. Menurut Clive Day, van der Capellen selama tujuh tahun pemerintahannya, mengabaikan undang-undang yang berlaku. Ia dengan perlahan-lahan kembali kepada sistem lama. Dengan demikian peraturan pemerintah kolonial menjadi undang-undang yang beku.10 Meskipun demikian, Cornelius Elout yang ikut membuat undang-undang itu ikut mempertahankan van der Capellen tetapi betapa perlunya ia bersikap reaksioner dalam kondisi Indonesia saat itu. Walau bagaimana pun, zaman pemerintahan van der Capellen itu mengakibatkan membengkaknya anggaran belanja, sehingga ia dikecam keras oleh Raja dan orang-orang Belanda. Sementara di Indonesia terus berlangsung peperangan. Semua ini semakin meyakinkan banyak orang bahwa praktek pemerintahan liberal itu telah gagal. Di antara pembaruan-pembaruan yang dicoba oleh van der Capellen adalah pembaruan sistem perdagangan yang akhirnya mengundang kemarahan orang-orang Eropa (terutama orang Belanda) terhadapnya. Dalam tahun 1821 van der Capellen mengeluarkan undang-undang yang melarang segala bentuk perdagangan Eropa di daerah kopi (Priangan), kecuali dengan izin khusus. Ia melakukan hal tersebut dengan harapan untuk melindungi orang-orang Indonesia agar tidak ditipu oleh para pedagang Eropa serta untuk memperbesar hasil bagi pemerintah Belanda. Tindakan lain yang juga mengundang kemarahan orang Eropa adalah peraturan yang dikeluarkan tahun 1823. Dalam pembaruan itu dia melarang orang-orang Eropa menyewa tanah rakyat. Peraturan ini juga untuk melindungi orang pribumi. Orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang merasa paling dirugikan adalah yang menyewa tanah di Surakarta dan Yogyakarta. Mereka sudah membayar uang muka yang besar, sehingga sewaktu peraturan itu turun, maka mereka menuntut pengembalian uang muka yang sudah habis dibelanjakan oleh orang-orang pribumi. Akibatnya orang-orang pribumi itu, terutama para pegawai dan peladang merasa kecewa terhadap pemerintah Belanda. Anggaran belanja negara semasa pemerintahan van der Capellen senantiasa menunjukkan defisit, sehingga Negeri Belanda harus menutupnya. Dalam keadaan kesulitan keuangan yang dialami Negeri Belanda sendiri pada waktu itu, maka suatu koloni yang tak dapat mencukupi keperluan sendiri adalah sesuatu yang tak ada gunanya. Karenanya keadaan itu tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga pada tahun 1825 Pemerintah Belanda memanggil Gubernur Jenderal van der Capellen kembali ke negeri Belanda
4. Arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia
Dua nama menonjol sebagai arsitek Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia. Pertama, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal 1808-1811 ketika Belanda dikuasai oleh Perancis dan, kedua, Letnan Inggris Stamford Raffles, Gubernur Jenderal 1811-1816 ketika Jawa dikuasai Inggris. Daendels mereorganisasi pemerintahan kolonial pusat dan daerah dengan membagi pulau Jawa dalam distrik (yang juga dikenal sebagai residensi) yang dipimpin oleh seorang pegawai negeri sipil Eropa - yang disebutkan residen - yang secara langsung merupakan bawahan dari - dan harus melapor kepada - Gubernur Jenderal di Batavia. Para residen ini bertanggung jawab atas berbagai hal di residensi mereka, termasuk masalah hukum dan organisasi pertanian.
Raffles melanjutkan reorganisasi pendahulunya (Daendels) dengan mereformasi pengadilan, polisi dan sistem administrasi di Jawa. Dia memperkenalkan pajak tanah di Jawa yang berarti bahwa petani Jawa harus membayar pajak, kira-kira nilai dua-perlima dari panen tahunan mereka, kepada pihak berwenang. Raffles juga sangat tertarik dengan budaya dan bahasa Jawa. Pada tahun 1817 ia menerbitkan bukunya The History of Java, salah satu karya akademis pertama yang topiknya pulau Jawa. Namun, reorganisasi administrasinya yang diterapkan Raffles juga berarti meningkatnya intervensi pihak asing di masyarakat dan ekonomi Jawa, yang tercermin dari meningkatnya jumlah pejabat peringkat menengah Eropa yang bekerja di residensi-residensi di pulau Jawa. Antara tahun 1825 dan tahun 1890 jumlah ini meningkat dari 73 menjadi 190 pejabat Eropa.
Sistem pemerintahan kolonial Belanda di Jawa adalah sistem yang direk (langsung) maupun dualistik. Bersamaan dengan hirarki Belanda, ada hirarki pribumi yang berfungsi sebagai perantara antara petani Jawa dan layanan sipil Eropa. Bagian atas struktur hirarki pribumi ini terdiri dari para aristokrasi Jawa, sebelumnya para pejabat yang mengelola pemerintahan Mataram. Namun, karena dikuasai penjajah para priyayi ini terpaksa melaksanakan kehendak Belanda.
Meningkatnya dominasi Belanda atas pulau Jawa tidak datang tanpa perlawanan. Ketika Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan untuk membangun jalan di tanah yang dimiliki Pangeran Diponegoro (yang ditunjuk sebagai wali tahta Yogyakarta setelah kematian mendadak saudara tirinya), ia memberontak dengan didukung oleh mayoritas penduduk di Jawa Tengah dan ia menjadikannya perang jihad. Perang ini berlangsung tahun 1825-1830 dan mengakibatkan kematian sekitar 215,000 orang, sebagian besar orang Jawa. Tapi setelah Perang Jawa selesai - dan pangeran Diponegoro ditangkap - Belanda jauh lebih kuat di Jawa dibanding sebelumnya.
5. Tanam Paksa atau Sistem Kultivasi di Jawa
Persaingan dengan para pedagang Inggris, Perang Napoleon di Eropa dan Perang Jawa mengakibatkan beban finansial yang besar bagi Kerajaan Belanda. Diputuskan bahwa Jawa harus menjadi sebuah sumber utama pendapatan untuk Belanda dan karena itu Gubernur Jenderal Van den Bosch mendorong dimulainya era Tanam Paksa (para sejarawan di Indonesia mencatat periode ini sebagai era Tanam Paksa namun Pemerintah Kolonial Belanda menyebutnya Cultuurstelsel yang berarti Sistem Kultivasi) di tahun 1830.
Dengan sistem ini, Belanda memonopoli perdagangan komoditi-komoditi ekspor di Jawa. Terlebih lagi, pihak Belanda lah yang memutuskan jenis (dan jumlah) komoditi yang harus diproduksi oleh para petani Jawa. Secara umum, ini berarti para petani Jawa harus menyerahkan seperlima dari hasil panen mereka kepada Belanda. Sebagai gantinya, para petani menerima kompensasi dalam bentuk uang dengan harga yang ditentukan Belanda tanpa memperhitungkan harga komoditi di pasaran dunia. Para pejabat Belanda dan Jawa menerima bonus bila residensi mereka mengirimkan lebih banyak hasil panen dari waktu sebelumnya, maka mendorong intervensi top-down dan penindasan. Selain pemaksaan penanaman dan kerja rodi, pajak tanah Raffles juga masih berlaku. Sistem Tanam Paksa menghasilkan kesuksesan keuangan. Antara tahun 1832 dan 1852, sekitar 19% dari total pendapatan pemerintah Belanda berasal dari koloni Jawa. Antara tahun 1860 dan 1866, angka ini bertambah menjadi 33%.
Pada awalnya, Sistem Tanam Paksa itu tidak didominasi hanya oleh pemerintah Belanda saja. Para pemegang kekuasaan Jawa, pihak Eropa swasta dan juga para pengusaha Tionghoa ikut berperan. Namun, setelah 1850 - waktu Sistem Tanam Paksa direorganisasi - Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pemain utama. Namun reorganisasi ini juga membuka pintu bagi pihak-pihak swasta untuk mulai mendominasi Jawa. Sebuah proses privatisasi terjadi karena Pemerintah Kolonial secara bertahap mengalihkan produksi komoditi ekspor kepada para pengusaha swasta Eropa.
6. Zaman Liberal Hindia Belanda
Semakin banyak suara terdengar di Belanda yang menolak sistem Tanam Paksa dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih liberal bagi perusahaan-perusahaan asing. Penolakan sistem Tanam Paksa ini terjadi karena alasan kemanusiaan dan ekonomi. Pada 1870 kelompok liberal di Belanda memenangkan kekuasaan di parlemen Belanda dan dengan sukses menghilangkan beberapa ciri khas Sistem Tanam Paksa, seperti persentase penanaman beserta keharusan menggunakan lahan dan tenaga kerja untuk mengekspor hasil panen.
Kelompok liberal ini membuka jalan untuk dimulainya sebuah periode baru dalam sejarah Indonesia yang dikenal sebagai Zaman Liberal (sekitar 1870-1900). Periode ini ditandai dengan pengaruh besar dari kapitalisme swasta dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial pada saat itu kurang lebih memainkan peran sebagai pengawas dalam hubungan antara pengusaha-pengusaha Eropa dengan masyarakat pedesaan Jawa. Namun, walau kaum liberal mengatakan bahwa keuntungan pertumbuhan ekonomi juga akan mengucur kepada masyarakat lokal, keadaan para petani Jawa yang menderita karena kelaparan, kurang pangan dan penyakit tidak lebih baik dibandingkan masa Tanam Paksa.
Abad ke-19 juga dikenal sebagai abad ekspansi karena Belanda melaksanakan ekspansi geografis yang substantial di Nusantara. Didorong oleh mentalisme imperialisme baru, negara-negara Eropa bersaing untuk mencari koloni-koloni di luar benua Eropa untuk motif ekonomi dan status. Salah satu motif penting bagi Belanda untuk memperluas wilayahnya di Nusantara - selain keuntungan keuangan - adalah untuk mencegah negara-negara Eropa lain mengambil bagian-bagian dari wilayah ini. Pertempuran paling terkenal (dan pertempuran yang paling lama antara Belanda dan rakyat pribumi) selama periode ekspansi Belanda abad ini adalah Perang Aceh yang dimulai pada tahun 1873 dan berlangsung sampai 1913, berakibat pada kematian lebih dari 100,000 orang. Namun, Belanda tidak pernah memegang kontrol penuh atas Aceh. Toh, integrasi politik antara Jawa dan pulau-pulau lain di nusantara sebagai kesatuan politis kolonial telah sebagian besar dicapai pada awal abad ke-20.
7. Periode Transisi VOC ke Masa Penjajahan Hindia Belanda
Setelah kongsi dagang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dibekukan pada tanggal 31 Desember 1799 oleh kerajaan Belanda karena banyaknya hutang hasil korupsi anggota-anggotanya, Herman Willem Daendels atau biasa hanya disebut Daendels, yang merupakan seorang politikus, ditunjuk oleh raja Belanda untuk menjadi Gubernur Jenderal di daerah jajahan Hindia Belanda yang sekarang diberi nama pemerintahan kolonial Hindia Hindia Belanda atau Hindia Timur (Netherlands East Indies). Tugasnya saat itu adalah untuk mempertahankan tanah jajahan Nusantara dari serangan Inggris.
Saat itu, Bataafsche Republiek (pemerintahan Belanda) yang merupakan sekutu Perancis, terlibat dalam peperangan melawan Inggris dan sekutu-sekutunya. Daendels sebagai Gubernur Jenderal, membuat beberapa kebijakan yang banyak menyengsarakan rakyat demi bisa mempertahankan tanah yang ia sedot habis-habisan kekayaannya dengan membangun infrastruktur-infrastruktur untuk memudahkan mobilisasi, dan mengesahkan beberapa kebijakan ekonomi baru, adapun pembangunan-pembangunan yang ia lakukan adalah:
1. Jalan raya pos Anyer-Panarukan sepanjang 1044 km, pembangunan jalan ini mengorbankan banyak nyawa, terutama saat pembuatan di jalan yang sekarang ini kita kenal sebagai Cadas Pangeran yang bertempat di Sumedang, karena sifat tanahnya yang keras dan karena jalan yang dibuat dibangun di tengah-tengah hutan belantara, sangat sulit untuk para pekerja rodi untuk melakukan pekerjaannya, apalagi saat itu juga peralatan yang ada masih sangat minim;
2. Pabrik senjata di Gresik dan pabrik mesiu di Semarang;
3. Pelabuhan militer angkatan laut di Surabaya;
4. Benteng Mesteer Cornelis di Jatinegara, menjadi pusat pertahanan Batavia saat melawan Inggris.
Untuk kebijakan ekonomi dan sosial:
1. Mengeluarkan uang kertas;
2. Memperbaiki gaji karyawan;
3. Pajak Ini Nature (Contingenten), membayar pajak dari hasil bumi;
4. Preanger Stelsel (Tanam Paksa yang hanya diterapkan di tanah Pasundan);
5. Monopoli perdagangan bebas;
6. Memberlakukan kerja rodi;
7. Menghapus upacara penghormatan kepada Residen, Sunan, dan Sultan;
8. Membuat jaringan pos distrik.
Semua kebijakan ini dilakukan oleh Daendels dengan sangat tidak manusiawi. Kekejaman yang banyak dilakukan sangat membuat masyarakat di Jawa saat itu menjadi benci pada Daendels. Napoleon Bonaparte yang mendengar berita kekejaman sang Gubernur Jenderal menjadi khawatir. Jika keberingasan ini terus berlanjut maka masyarakat Jawa ditakutkan akan berpaling dan memihak pada Inggris.
Akhirnya dia memutuskan untuk mengganti posisi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan memberikan posisi yang baru ini pada Den William Jonson. Den William Jonson ini sayangnya kalah saat melakukan pertahanan terhadap serangan Inggris. Dia kabur ke derah Semarang namun hal itu sia-sia karena dia tetap bisa ditemukan oleh pasukan Inggris dan akhirnya Jonson dan Inggris membuat perjanjian yang bernama "Kapitulasi Tuntang". Perjanjian ini intinya adalah penyerahan daerah Jawa dari bawah jajahan Belanda kepada Inggris. Setelah perpindahan kekuasaan ini, Jawa memiliki Gubernur Jenderal yang baru lagi, yaitu Sir Thomas Stamford Raffles.
Prinsip seorang T.S Raffles adalah liberalisme, oleh karena itu dia sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia. Oleh karenanya, Raffles menghapus kebijakan yang telah ditetapkan oleh Gubernur Jenderal yang lama, yaitu:
1.Menghapus kerja rodi;
2.Menghapus perbudakan;
3.Menghapus preangerstelsel (Tanam Paksa);
4.Menghapus monopoli rempah-rempah.
Raffles juga membuat kebijakan baru yaitu sistem sewa tanah, namun sayangnya sistem ini gagal ditetapkan di Jawa, adapun alasannya antara lain karena:
1. Tidak adanya sertifikat tanah sehingga sulit untuk menyitanya;
2. Kebebasan yang diberikan Raffles untuk menanam tanaman apa saja membuat bingung para pribumi yang terbiasa dengan sistem tanam paksa;
3. Petani terbiasa melakukan barter dan belum mengerti cara menggunakan uang.
Karena hal-hal ini, Inggris menganggap Jawa tidak menghasilkan dan akhirnya, bersamaan dengan lepasnya Belanda dari Perancis, diadakan Convention of London pada tahun 1814 yang mengembalikan kekuasaan di Jawa pada Belanda.